Penerapan Teknologi
Inovatif dalam Industri Kelapa Sawit Ramah Lingkungan
Berawal dari share link mengenai seminar sawit yang
diselenggarakan oleh jurusan teknik pertanian dan biosystem ugm di wall
facebook, ada teman yang menanyakan terkait tema dari seminar, adapun tema yang
diangkat pada seminar kali ini adalah “Penerapan Teknologi Inovatif dalam
Industri Kelapa Sawit Ramah Lingkungan”, dan pertanyaan yang dilontarkan adalah
apa sih teknologi ramahlingkungan yang di tawarkan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, mungkin saya bukan orang yang
berkompeten, namun ada baiknya ikut mengumpulkan informasi mengenai apa sih
perkebunan kelapa sawit, plus minusnya, dan bagaimana solusi untuk permasalahan
ini.
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting
penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).
Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan
perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah
penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya di
daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.
1. Sejarah
Perkebunan kelapa sawit di Indoensia
Beberapa
sejarah perkebuan kelapa sawit dapat di baca di artikel internet [1] & [2],
berikut ini resume singkat sebagai pemahaman awal.
1848 –
Kelapa sawit pertama kali dikenalkan oleh belanda pada masa penjajahan.
1870 –
Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam
di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara.
1911 –
Kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan
perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu
diikuti oleh K. Schadt.
1966 –
Perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan.
Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya
harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi
alternatif.
2006 –
Program Revitalisasi Perkebunan, dimana kelapa sawit adalah salah satu
komoditas yang masuk didalam program revitalisasi tersebut. Perkembangan kelapa
sawit yang konsisten dan berkelanjutan akan menjadikan Indonesia sebagai
produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia[2].
2. Potensi
Pengembangan Kelapa Sawit
Mulai tahun 2006 tersebut pemerintah mulai fokus untuk
mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan pendekatan penerapan teknologi
serta optimasi proses pasca panen. Sejak tahun 2006 produksi minyak sawit
Indonesia telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia. Secara bersama
produksi minyak sawit Indonesia dan Malaysia pada tahun 2008 menguasai 85,8%
produksi minyak sawit dunia atau sebesar 42.904 ribu ton [3].
Badrun [3] menyatakan bahwa produktivitas minyak kelapa
sawit sekitar 3,8 ton/ha (2008) setara dengan 9,3 kali dan 5,6 kali lebih
tinggi dibanding produktivitas minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.
Kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang produktivitasnya mencapai 25 tahun,
sedangkan minyak nabati lainnya adalah budidaya tanaman semusim yang pengolahan
tanahnya dilakukan setiap musim tanam. Dengan demikian budidaya kelapa sawit
lebih hemat energi dan memerlukan lahan lebih sedikit untuk mencapai jumlah
produksi yang sama dibanding minyak nabati lainnya.
3.
Karakteristik Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa sawit memiliki akar serabut yang berfungsi sebagai
penyerap unsur hara dan respirasi tanaman serta sebagai penyangga berdirinya
tanaman. Lubis et al.[4] menyatakan bahwa kelapa sawit dewasa memiliki
8000-10000 akar primer 15-20 meter dari dasar batang dengan diameter 4-10 mm.
Sebagian besar tumbuh medatar sekitar 20-60 cm di bawah permukaan tanah. Batang
kelapa sawit tidak memiliki kambium tajuk dan tidak bercabang. Batang kelapa
sawit berfungsi sebagai penyangga tajuk dan sebagai jalan pengangkutan air dan
hara (zat makan). Pertumbuhan kelapa sawit tidak terbatas, tapi menurut
pertimbangan ekonomisnya hanya sampai umur 25 tahun dengan ketinggian 10-11 m.
Kelapa sawit merupakan jenis tanaman yang banyak membutuhkan
air untuk pertumbuhannya. Adanya perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke
sistem tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem
dan tatanan neraca air yang ada di wilayah tersebut. Karena mekanisme
tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah tersebut
[5]. akibat dari alih guna lahan ini secara tidak langsung memicu krisis air
dilingkungan sekitar perkebunan sererti diberitakan di bengkulu press [6].
Selain faktor alam, faktor sosial dan kemasyarakatan juga
menjadi bagian yang sensitif dalam menjamin keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit, seperti yang kita ketahui saat ini, banyak perusahaan asing dan swasta
yang berperan menjalankan bisnis ini dan tentu saja masyarakat sekitar juga
harus diperhatikan, perihal kesejahteraan serta peluang berbagi hasil.
4.
Perkebunan Kelapa sawit yang ramah lingkungan
Perkebunan
sawit yang ramah lingkungan dicontohkan di Desa Dosan Kecamatan Pusako,
Kabupeten Siak, Riau [7]. beberapa poin penting dalam perkebunan kelapa sawit
ramah lingkungan antara lain:
·
Pemanfaatan lahan non-produktif, memanfaatkan lahan ahan eks
tambang dan lahan non-pertanian dan non-hutan.
·
dari catatan [7] kelompok petani yang berjumlah 201 orang
itu bisa tetap memperoleh kelapa sawit sekitar 800 ton hingga 1000 ton per
bulan.
·
Tidak lagi menggunakan herbisida selama proses produksi,
untuk mengurangi penggunaan bahan kimia yang akan mengurangi kesuburan tanah
dalam jangka panjang serta dampak terhadap pencemaran lingkungan
·
c.Kelompok petani mandiri, dengan kesadaran peningkatan
ekonomi masyarakat harus sejalan dengan perlindungan hutan.
·
Adanya sertifikasi terkait dengan perkebunan kelapa sawit
ramah lingkungan dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISCO) [8].
·
Pengembangan Teknologi kelapa sawit ramah lingkungan,
beberapa teknologi yang diaplikasikan untuk mendukung keberpihakan kepada
lingkungan antara lain seperti yang di kemukakan oleh Aspandi [8] pada
pengelolaan limbah.
Perusahaan menerapkan pengurangan jumlah limbah yang dibuang
ke media lingkungan berdasarkan empat prinsip, yaitu: pengurangan dari sumber
(reduce), sistem daur ulang (recycle), pengambilan (recovery) dan pemanfaatan
kembali (reuse) secara berkelanjutan menuju produksi bersih [9](Casson, A.,
2003 : 24).
Aplikasi
limbah cair pabrik kelapa sawit pada perkebunan kelapa sawit dengan sistem
flatbed [10](Sitorus. 2007: 13-21) yaitu dengan cara :
Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai
pupuk, Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed,
yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan
selanjutnya ke parit primer dan sekunder .
Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya
yang relatif mahal. Namun investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS
dan penghematan biaya pupuk sehingga penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah
cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat biaya pemupukan hingga 46%/ha. Di
samping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah.
Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di
perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta.
Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi dan limbah cair tidak
menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah[10]
Perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan, karena perkebunan
menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak
oksigen (O2), yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan.
Menghadapi Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) 2015
Salah satu jantung perekonomian negara ini,
yakni pertanian, turut diatur di dalamnya. Aturan ini jadi sorotannasional
karena membuka habis-habisan sektor pertanian tanpa proteksi. Misalnya, untuk usaha budidaya tanamanpangan. Dalam
aturan ini, investasi asing dibolehkan hingga 49 persen untuk usaha budidaya
tanaman panganseluas lebih dari 25 hektar, seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.Usaha industri perkebunan lebih parah lagi.
Pemerintah
membolehkan keberadaan investasi asing untuk perbenihanhingga
95 persen bagi usaha seluas lebih dari 25 hektar, yang berlaku bagi tanaman
jarak, tebu, tembakau, bahanbaku tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa
sawit; teh, kopi, dan kakao; dan lada, cengkeh, minyak atsiri,tanaman obat,
rempah-rempah, dan karet.
Usaha perkebunan, baik yang terintegrasi
dengan unit pengolahanmaupun tidak, plus industri pengolahannya, juga boleh
dikuasai asing hingga 95 persen.Lalu, untuk usaha perbenihan dan budidaya
hortikultura, seperti anggur, buah semusim, jeruk, apel, buah beri;sayuran
daun, sayuran umbi, dan sayuran buah; tanaman hias dan jamur, dibolehkan
investasi asing maksimal 30persen. Tak ketinggalan untuk usaha pengolahan,
wisata agro hortikultura berikut usaha jasanya (masing-masingmaksimal 30 persen
modal asing); usaha penelitian dan uji mutu hortikultura (maksimal 30 persen
modal asing);penelitian, pengembangan
ilmu, serta teknologi rekayasa (maksimal 49 persen modal asing).
- Argumen pemerintah
Pemerintah mengklaim penerbitan perpres itu
untuk menopang komitmen Indonesia dalam mewujudkanMasyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada 2015. MEA merupakan pekerjaan besar, di mana barang, jasa,
buruhterlatih, dan ekspansi modal bisa bergerak bebas dalam satu kawasan. MEA juga berarti penyatuan ekonomi di AsiaTenggara karena
investasi, produksi, dan pasar jadi tidak terbatas untuk menopang rantai
pasokan barang hinggake negara-negara Barat.Dalam hubungan antar-kawasan,
integrasi ekonomi MEA merupakan fondasi untuk membangun poros AsiaTenggara yang
kuat sekaligus menghendaki pengorbanan kedaulatan. Kenyataannya, hampir semua
negaraanggota enggan menjalankannya karena rasa tak saling percaya. Tetapi, dengan kondisi semacam itu pun, PresidenYudhoyono tetap mengumumkan Perpres No 39/2014 dengan dalih optimisme terbentuknya MEA.
Dari situ, upaya untuk mewujudkan masyarakat
ekonomi bersama seolah jadi dambaan yang mau tidak mau harusdipahami jadi
solusi untuk menjawab persoalan perekonomian antarnegara se-ASEAN. Termasuk
dalam hal iniupaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi di Tanah Air.Padahal, di dalam negeri, sektor pertanian kita masih tertinggal dan dibebani volume impor komoditas pangan
danhortikultura yang terus meningkat, seperti beras, kedelai, jagung, gula,
buah-buahan, dan bawang putih.
Untuk kebutuhan di dalam negeri, data terakhir
2013 menyebutkan ketergantungan pada 100 persen impor gandum, 54persen impor
gula, dan 95 persen bawang putih. Tapi, tahu kebutuhan akan pangan terus
meningkat, pemerintahtak juga melaksanakan upaya nyata untuk mengurangi
ketergantungan impor.Sementara jumlah penduduk miskin di Indonesia terus
bertambah 480.000 jiwa dalam kurun waktu tujuh tahun,menjadi 28 juta jiwa,
terhitung sejak Maret-September 2013. Pola yang berbeda dengan jumlah penduduk
miskin, jumlah petani di Indonesia susut 480.000 setiap tahunnya.
Menurut data BPS, jumlah petani di Indonesia
kini tersisa40 juta per Februari tahun ini, dari sebelumnya 41 juta lebih pada periode Februari
2013.Merujuk pada sumber daya manusia, Indonesia termasuk yang masih rendah
untuk semua bidang. Dari 110,8 jutaorang yang bekerja hingga Agustus 2013,
sebanyak 52 juta tenaga kerja (46,9 persen) berpendidikan SD.Belum lagi
masalah aktual yang juga perlu aksi nyata, misalnya terkait kegagalan panen.
Mulai dari akibat seranganhama pengganggu tanaman karena kemarau basah tiga
tahun terakhir sampai penggunaan pestisida berlebihan,bencana banjir, dan kekeringan (Dwi Andreas Santosa, Kompas, 14/2/2014).
Sementara dukungan pemerintah untukadaptasi
dan mitigasi guna mengantisipasi
penurunan produksi kerap tertinggal.Jika
mengacu pada kondisi riil yang ada, apakah semua data statistik itu cukup
menguatkan argumen pemerintahuntuk nyemplung ke wadah masyarakat bersama? Atau setidaknya apakah pemerintah sudah bertanya kepadamasyarakat
mengenai kesiapan mereka berbaur dalam MEA? Berkaitan dengan antisipasi dampak
burukperdagangan bebas, selama ini ASEAN tak pernah memberikan perhatian secara
khusus. Ini karena ASEAN lagi-lagihanya memusatkan perhatian pada perdagangan
bebas sebagai penggerak utama integrasi. Dari situ, sentralitasASEAN seperti
bergantung sepenuhnya pada pemikiran para pemimpin negara meski masyarakat
sipil berusahamelibatkan diri melalui dialog tahunan Forum Masyarakat ASEAN.
Alhasil berbagai perjanjian ekonomi kawasan
dan kebijakan nasional dalam rangka MEA otomatis jadi hukum yangasing bagi
petani kita karena hanya bisa dibuat dan bahkan dipahami oleh individu yang
berbekal pendidikankhusus. Beragam perjanjian ASEAN yang tak bisa diubah ini
jelas merugikan Indonesia. Terlebih proses negosiasiperdagangan bebas di ASEAN
ini berlangsung secara top-down sehingga praktis meminggirkan kaum tani.
Petanikita sebagai elemen penting perekonomian nasional akan memasuki pasar
bebas kawasan sendirian tanpaperlindungan dari pemerintah. Bappenas belum
menyiapkan strategi pertanian nasional menghadapi MEA. Entahdengan cara apa pemerintah bisa menyejahterakan petani di era MEA.
- Tugas utama
Terbitnya daftar negatif investasi
lewat Perpres No 39/2014 dan berlakunya MEA 2015 lebihmenguntungkan petani dari
negara tertentu. Argumennya tentu merujuk kemampuan mereka memproduksipangan
yang tinggi, penguasaan ilmu pertanian, dan koneksi usaha yang memadai. Contoh
nyata, satu pabrik guladi Thailand dapat menghasilkan hingga 13.000 ton gula per hari, sedangkan Indonesia hanya mampu memproduksi3.000 ton per hari.Dengan begitu, semua peluang dan kesempatan
perdagangan bebas akan mudah mereka raih.
Petani di Indonesiayang sebagian besar berusia
nonproduktif (55-60 tahun) hanya akan jadi penonton karena minus modal,
miskininformasi, dan jaringan.Indonesia memiliki populasi, luas kawasan, dan
ekonomi terbesar di ASEAN. Dengan modal itu, seharusnyapemerintah lebih tanggap
terhadap kepentingan nasional sebelum bereaksi terhadap berbagai isu kawasan. Karenaitu, dalam waktu yang sangat singkat, pemerintah
punya sederet tugas mendesak untuk memperkuat sektorpertanian.
Pertama, pemerintah belum menghitung secara
persis kesiapan dan daya dukung nasional dalam menghadapi
pasarbebas. Itu sebabnya, Perpres No
39/2014 harus segera dievaluasi, baik terkait sektor pertanian maupun
bidangpenting lain, seperti jasa, manufaktur, dan energi.Kedua, gula dari Thailand dan beras dari Vietnam sedang
merajai ASEAN. Indonesia bakal sulit bersaing pada duakomoditas tersebut. Maka,
pemerintah harus segera mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan,
danpermodalan agar Indonesia tidak bergantung pada impor. Terlebih akibat peningkatan konsumsi dan pertumbuhanpopulasi, pasokan pangan dunia
semakin seret.
Tiongkok menargetkan impor beras hingga 4 juta
ton pada tahunini, sementara Filipina menetapkan
1,2 juta ton pasokan beras dari impor dan Malaysia 1,1 juta ton.Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan perlindungan tarif
bagi petani dengan penetapan tarif maksimaluntuk produk impor, khususnya padi,
jagung, gula, teh, kopi, buah-buahan, sayur-mayur, dan pelbagai
produkhortikultura lain yang merupakan sumber mata pencaharian dan pangan penting penopang kecukupan gizi
bangsa.
Keempat, pemerintah perlu terus-menerus
menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak bagi petani gunameningkatkan
kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanian seperti benih dan
pupuk.Konsistensi strategi pertanian jangka panjang yang mampu melindungi
petani mulai dari praproduksi hinggadistribusi
akan jauh lebih mulia ketimbang mengandalkan usaha asing yang lantas melemahkan
sektor pertanian diIndonesia. Jadi, pertanyaannya bukan soal mampu atau
tidaknya, melainkan kemauan dan komitmen pemerintahmemulihkan peran dalam melindungi
bangsa.
Bahan
bacaan
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit
[2]
http://peperonity.com/go/sites/mview/agro-lestarie/24016476
[3]
Badrun, M. 2010. Lintasan 30 Pengembangan Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia ISBN 978-979-1109-18-5.
Jakarta Indonesia.
[4] Lubis
et al.1989. dari
http://ghinaghufrona.blogspot.jp/2011/07/serba-serbi-kelapa-sawit.html
[5] http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/Estimasi-nilai-ekonomi-lingkungan-perkebunan-kelapa-sawit-ditinjau-dari-neraca-air-tanaman-kelapa-sawit-studi-kasus-perkebunan-kelapa-sawit-di-Kecamatan-Dayun.pdf
[6]
http://bengkuluekspress.com/kebun-sawit-picu-krisis-air-bersih/
[7]
http://www.beritalingkungan.com/2012/07/ini-dia-praktek-perkebunan-sawit-ramah.html
[8]
Aspandi, Pino.
http://uripsantoso.wordpress.com/2012/06/13/industri-kelapa-sawit-sebagai-solusi-alternatif-penghasil-energi-yang-ramah-lingkungan/
[9]
Casson, A., Oil Palm, Soybeans & Critical Habitat Loss: a review prepared
for the WWF Forest Conversion Initiative, WWF Forest Conversion Initiative,
Switzerland, 2003.
[10]
Sitorus, Henry., Kerusakan Lingkungan Oleh Limbah Industri Adalah Masalah
Itikad. Universitas Sumatera Utara,