Entri Populer

Kamis, 28 Mei 2015

Sektor Pertanian dalam Menghadapi (MEA) 2015

Penerapan Teknologi Inovatif dalam Industri Kelapa Sawit Ramah Lingkungan   

Berawal dari share link mengenai seminar sawit yang diselenggarakan oleh jurusan teknik pertanian dan biosystem ugm di wall facebook, ada teman yang menanyakan terkait tema dari seminar, adapun tema yang diangkat pada seminar kali ini adalah “Penerapan Teknologi Inovatif dalam Industri Kelapa Sawit Ramah Lingkungan”, dan pertanyaan yang dilontarkan adalah apa sih teknologi ramahlingkungan yang di tawarkan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, mungkin saya bukan orang yang berkompeten, namun ada baiknya ikut mengumpulkan informasi mengenai apa sih perkebunan kelapa sawit, plus minusnya, dan bagaimana solusi untuk permasalahan ini.
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.
1. Sejarah Perkebunan kelapa sawit di Indoensia
Beberapa sejarah perkebuan kelapa sawit dapat di baca di artikel internet [1] & [2], berikut ini resume singkat sebagai pemahaman awal.
1848 – Kelapa sawit pertama kali dikenalkan oleh belanda pada masa penjajahan.
1870 – Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara.
1911 – Kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt.
1966 – Perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
2006 – Program Revitalisasi Perkebunan, dimana kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang masuk didalam program revitalisasi tersebut. Perkembangan kelapa sawit yang konsisten dan berkelanjutan akan menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia[2].
2. Potensi Pengembangan Kelapa Sawit
Mulai tahun 2006 tersebut pemerintah mulai fokus untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan pendekatan penerapan teknologi serta optimasi proses pasca panen. Sejak tahun 2006 produksi minyak sawit Indonesia telah melampaui produksi minyak sawit Malaysia. Secara bersama produksi minyak sawit Indonesia dan Malaysia pada tahun 2008 menguasai 85,8% produksi minyak sawit dunia atau sebesar 42.904 ribu ton [3].
Badrun [3] menyatakan bahwa produktivitas minyak kelapa sawit sekitar 3,8 ton/ha (2008) setara dengan 9,3 kali dan 5,6 kali lebih tinggi dibanding produktivitas minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang produktivitasnya mencapai 25 tahun, sedangkan minyak nabati lainnya adalah budidaya tanaman semusim yang pengolahan tanahnya dilakukan setiap musim tanam. Dengan demikian budidaya kelapa sawit lebih hemat energi dan memerlukan lahan lebih sedikit untuk mencapai jumlah produksi yang sama dibanding minyak nabati lainnya.
3. Karakteristik Perkebunan Kelapa Sawit
Kelapa sawit memiliki akar serabut yang berfungsi sebagai penyerap unsur hara dan respirasi tanaman serta sebagai penyangga berdirinya tanaman. Lubis et al.[4] menyatakan bahwa kelapa sawit dewasa memiliki 8000-10000 akar primer 15-20 meter dari dasar batang dengan diameter 4-10 mm. Sebagian besar tumbuh medatar sekitar 20-60 cm di bawah permukaan tanah. Batang kelapa sawit tidak memiliki kambium tajuk dan tidak bercabang. Batang kelapa sawit berfungsi sebagai penyangga tajuk dan sebagai jalan pengangkutan air dan hara (zat makan). Pertumbuhan kelapa sawit tidak terbatas, tapi menurut pertimbangan ekonomisnya hanya sampai umur 25 tahun dengan ketinggian 10-11 m.
Kelapa sawit merupakan jenis tanaman yang banyak membutuhkan air untuk pertumbuhannya. Adanya perubahan penggunaan lahan dari hutan alami ke sistem tanaman monokultur seperti perkebunan kelapa sawit akan merubah sistem dan tatanan neraca air yang ada di wilayah tersebut. Karena mekanisme tanamannya yang monokultur, baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap neraca air lahan dan ketersediaan air di wilayah tersebut [5]. akibat dari alih guna lahan ini secara tidak langsung memicu krisis air dilingkungan sekitar perkebunan sererti diberitakan di bengkulu press [6].
Selain faktor alam, faktor sosial dan kemasyarakatan juga menjadi bagian yang sensitif dalam menjamin keberlanjutan perkebunan kelapa sawit, seperti yang kita ketahui saat ini, banyak perusahaan asing dan swasta yang berperan menjalankan bisnis ini dan tentu saja masyarakat sekitar juga harus diperhatikan, perihal kesejahteraan serta peluang berbagi hasil.
4. Perkebunan Kelapa sawit yang ramah lingkungan
Perkebunan sawit yang ramah lingkungan dicontohkan di Desa Dosan Kecamatan Pusako, Kabupeten Siak, Riau [7]. beberapa poin penting dalam perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan antara lain:
·        Pemanfaatan lahan non-produktif, memanfaatkan lahan ahan eks tambang dan lahan non-pertanian dan non-hutan.
·        dari catatan [7] kelompok petani yang berjumlah 201 orang itu bisa tetap memperoleh kelapa sawit sekitar 800 ton hingga 1000 ton per bulan.
·        Tidak lagi menggunakan herbisida selama proses produksi, untuk mengurangi penggunaan bahan kimia yang akan mengurangi kesuburan tanah dalam jangka panjang serta dampak terhadap pencemaran lingkungan
·        c.Kelompok petani mandiri, dengan kesadaran peningkatan ekonomi masyarakat harus sejalan dengan perlindungan hutan.
·        Adanya sertifikasi terkait dengan perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISCO) [8].
·        Pengembangan Teknologi kelapa sawit ramah lingkungan, beberapa teknologi yang diaplikasikan untuk mendukung keberpihakan kepada lingkungan antara lain seperti yang di kemukakan oleh Aspandi [8] pada pengelolaan limbah.
Perusahaan menerapkan pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke media lingkungan berdasarkan empat prinsip, yaitu: pengurangan dari sumber (reduce), sistem daur ulang (recycle), pengambilan (recovery) dan pemanfaatan kembali (reuse) secara berkelanjutan menuju produksi bersih [9](Casson, A., 2003 : 24).
Aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit pada perkebunan kelapa sawit dengan sistem flatbed [10](Sitorus. 2007: 13-21) yaitu dengan cara :
Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk, Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan sekunder .
Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS dan penghematan biaya pupuk sehingga penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat biaya pemupukan hingga 46%/ha. Di samping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi biaya pengolahan limbah.
Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi dan limbah cair tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah[10]
Perkebunan kelapa sawit ramah lingkungan, karena perkebunan menyimpan lebih banyak karbon dioksida (CO2) dan melepaskan lebih banyak oksigen (O2), yang mana ini menguntungkan bagi lingkungan.

Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015

Salah satu jantung perekonomian negara ini, yakni pertanian, turut diatur di dalamnya. Aturan ini jadi sorotannasional karena membuka habis-habisan sektor pertanian tanpa proteksi. Misalnya, untuk usaha budidaya tanamanpangan. Dalam aturan ini, investasi asing dibolehkan hingga 49 persen untuk usaha budidaya tanaman panganseluas lebih dari 25 hektar, seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.Usaha industri perkebunan lebih parah lagi. 

Pemerintah membolehkan keberadaan investasi asing untuk perbenihanhingga 95 persen bagi usaha seluas lebih dari 25 hektar, yang berlaku bagi tanaman jarak, tebu, tembakau, bahanbaku tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa sawit; teh, kopi, dan kakao; dan lada, cengkeh, minyak atsiri,tanaman obat, rempah-rempah, dan karet.

Usaha perkebunan, baik yang terintegrasi dengan unit pengolahanmaupun tidak, plus industri pengolahannya, juga boleh dikuasai asing hingga 95 persen.Lalu, untuk usaha perbenihan dan budidaya hortikultura, seperti anggur, buah semusim, jeruk, apel, buah beri;sayuran daun, sayuran umbi, dan sayuran buah; tanaman hias dan jamur, dibolehkan investasi asing maksimal 30persen. Tak ketinggalan untuk usaha pengolahan, wisata agro hortikultura berikut usaha jasanya (masing-masingmaksimal 30 persen modal asing); usaha penelitian dan uji mutu hortikultura (maksimal 30 persen modal asing);penelitian, pengembangan ilmu, serta teknologi rekayasa (maksimal 49 persen modal asing).

  • Argumen pemerintah

Pemerintah mengklaim penerbitan perpres itu untuk menopang komitmen Indonesia dalam mewujudkanMasyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. MEA merupakan pekerjaan besar, di mana barang, jasa, buruhterlatih, dan ekspansi modal bisa bergerak bebas dalam satu kawasan. MEA juga berarti penyatuan ekonomi di AsiaTenggara karena investasi, produksi, dan pasar jadi tidak terbatas untuk menopang rantai pasokan barang hinggake negara-negara Barat.Dalam hubungan antar-kawasan, integrasi ekonomi MEA merupakan fondasi untuk membangun poros AsiaTenggara yang kuat sekaligus menghendaki pengorbanan kedaulatan. Kenyataannya, hampir semua negaraanggota enggan menjalankannya karena rasa tak saling percaya. Tetapi, dengan kondisi semacam itu pun, PresidenYudhoyono tetap mengumumkan Perpres No 39/2014 dengan dalih optimisme terbentuknya MEA.

Dari situ, upaya untuk mewujudkan masyarakat ekonomi bersama seolah jadi dambaan yang mau tidak mau harusdipahami jadi solusi untuk menjawab persoalan perekonomian antarnegara se-ASEAN. Termasuk dalam hal iniupaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi di Tanah Air.Padahal, di dalam negeri, sektor pertanian kita masih tertinggal dan dibebani volume impor komoditas pangan danhortikultura yang terus meningkat, seperti beras, kedelai, jagung, gula, buah-buahan, dan bawang putih.

Untuk kebutuhan di dalam negeri, data terakhir 2013 menyebutkan ketergantungan pada 100 persen impor gandum, 54persen impor gula, dan 95 persen bawang putih. Tapi, tahu kebutuhan akan pangan terus meningkat, pemerintahtak juga melaksanakan upaya nyata untuk mengurangi ketergantungan impor.Sementara jumlah penduduk miskin di Indonesia terus bertambah 480.000 jiwa dalam kurun waktu tujuh tahun,menjadi 28 juta jiwa, terhitung sejak Maret-September 2013. Pola yang berbeda dengan jumlah penduduk miskin, jumlah petani di Indonesia susut 480.000 setiap tahunnya.

Menurut data BPS, jumlah petani di Indonesia kini tersisa40 juta per Februari tahun ini, dari sebelumnya 41 juta lebih pada periode Februari 2013.Merujuk pada sumber daya manusia, Indonesia termasuk yang masih rendah untuk semua bidang. Dari 110,8 jutaorang yang bekerja hingga Agustus 2013, sebanyak 52 juta tenaga kerja (46,9 persen) berpendidikan SD.Belum lagi masalah aktual yang juga perlu aksi nyata, misalnya terkait kegagalan panen. Mulai dari akibat seranganhama pengganggu tanaman karena kemarau basah tiga tahun terakhir sampai penggunaan pestisida berlebihan,bencana banjir, dan kekeringan (Dwi Andreas Santosa, Kompas, 14/2/2014).

Sementara dukungan pemerintah untukadaptasi dan mitigasi guna mengantisipasi penurunan produksi kerap tertinggal.Jika mengacu pada kondisi riil yang ada, apakah semua data statistik itu cukup menguatkan argumen pemerintahuntuk nyemplung ke wadah masyarakat bersama? Atau setidaknya apakah pemerintah sudah bertanya kepadamasyarakat mengenai kesiapan mereka berbaur dalam MEA? Berkaitan dengan antisipasi dampak burukperdagangan bebas, selama ini ASEAN tak pernah memberikan perhatian secara khusus. Ini karena ASEAN lagi-lagihanya memusatkan perhatian pada perdagangan bebas sebagai penggerak utama integrasi. Dari situ, sentralitasASEAN seperti bergantung sepenuhnya pada pemikiran para pemimpin negara meski masyarakat sipil berusahamelibatkan diri melalui dialog tahunan Forum Masyarakat ASEAN.

Alhasil berbagai perjanjian ekonomi kawasan dan kebijakan nasional dalam rangka MEA otomatis jadi hukum yangasing bagi petani kita karena hanya bisa dibuat dan bahkan dipahami oleh individu yang berbekal pendidikankhusus. Beragam perjanjian ASEAN yang tak bisa diubah ini jelas merugikan Indonesia. Terlebih proses negosiasiperdagangan bebas di ASEAN ini berlangsung secara top-down sehingga praktis meminggirkan kaum tani. Petanikita sebagai elemen penting perekonomian nasional akan memasuki pasar bebas kawasan sendirian tanpaperlindungan dari pemerintah. Bappenas belum menyiapkan strategi pertanian nasional menghadapi MEA. Entahdengan cara apa pemerintah bisa menyejahterakan petani di era MEA.

  • Tugas utama

Terbitnya daftar negatif investasi lewat Perpres No 39/2014 dan berlakunya MEA 2015 lebihmenguntungkan petani dari negara tertentu. Argumennya tentu merujuk kemampuan mereka memproduksipangan yang tinggi, penguasaan ilmu pertanian, dan koneksi usaha yang memadai. Contoh nyata, satu pabrik guladi Thailand dapat menghasilkan hingga 13.000 ton gula per hari, sedangkan Indonesia hanya mampu memproduksi3.000 ton per hari.Dengan begitu, semua peluang dan kesempatan perdagangan bebas akan mudah mereka raih.

Petani di Indonesiayang sebagian besar berusia nonproduktif (55-60 tahun) hanya akan jadi penonton karena minus modal, miskininformasi, dan jaringan.Indonesia memiliki populasi, luas kawasan, dan ekonomi terbesar di ASEAN. Dengan modal itu, seharusnyapemerintah lebih tanggap terhadap kepentingan nasional sebelum bereaksi terhadap berbagai isu kawasan. Karenaitu, dalam waktu yang sangat singkat, pemerintah punya sederet tugas mendesak untuk memperkuat sektorpertanian.

Pertama, pemerintah belum menghitung secara persis kesiapan dan daya dukung nasional dalam menghadapi pasarbebas. Itu sebabnya, Perpres No 39/2014 harus segera dievaluasi, baik terkait sektor pertanian maupun bidangpenting lain, seperti jasa, manufaktur, dan energi.Kedua, gula dari Thailand dan beras dari Vietnam sedang merajai ASEAN. Indonesia bakal sulit bersaing pada duakomoditas tersebut. Maka, pemerintah harus segera mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan, danpermodalan agar Indonesia tidak bergantung pada impor. Terlebih akibat peningkatan konsumsi dan pertumbuhanpopulasi, pasokan pangan dunia semakin seret.

Tiongkok menargetkan impor beras hingga 4 juta ton pada tahunini, sementara Filipina menetapkan 1,2 juta ton pasokan beras dari impor dan Malaysia 1,1 juta ton.Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan perlindungan tarif bagi petani dengan penetapan tarif maksimaluntuk produk impor, khususnya padi, jagung, gula, teh, kopi, buah-buahan, sayur-mayur, dan pelbagai produkhortikultura lain yang merupakan sumber mata pencaharian dan pangan penting penopang kecukupan gizi bangsa.

Keempat, pemerintah perlu terus-menerus menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak bagi petani gunameningkatkan kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanian seperti benih dan pupuk.Konsistensi strategi pertanian jangka panjang yang mampu melindungi petani mulai dari praproduksi hinggadistribusi akan jauh lebih mulia ketimbang mengandalkan usaha asing yang lantas melemahkan sektor pertanian diIndonesia. Jadi, pertanyaannya bukan soal mampu atau tidaknya, melainkan kemauan dan komitmen pemerintahmemulihkan peran dalam melindungi bangsa.

Bahan bacaan
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit
[2] http://peperonity.com/go/sites/mview/agro-lestarie/24016476
[3] Badrun, M. 2010. Lintasan 30 Pengembangan Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia ISBN 978-979-1109-18-5. Jakarta Indonesia.
[4] Lubis et al.1989. dari http://ghinaghufrona.blogspot.jp/2011/07/serba-serbi-kelapa-sawit.html
[5] http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/Estimasi-nilai-ekonomi-lingkungan-perkebunan-kelapa-sawit-ditinjau-dari-neraca-air-tanaman-kelapa-sawit-studi-kasus-perkebunan-kelapa-sawit-di-Kecamatan-Dayun.pdf
[6] http://bengkuluekspress.com/kebun-sawit-picu-krisis-air-bersih/
[7] http://www.beritalingkungan.com/2012/07/ini-dia-praktek-perkebunan-sawit-ramah.html
[8] Aspandi, Pino. http://uripsantoso.wordpress.com/2012/06/13/industri-kelapa-sawit-sebagai-solusi-alternatif-penghasil-energi-yang-ramah-lingkungan/
[9] Casson, A., Oil Palm, Soybeans & Critical Habitat Loss: a review prepared for the WWF Forest Conversion Initiative, WWF Forest Conversion Initiative, Switzerland, 2003.
[10] Sitorus, Henry., Kerusakan Lingkungan Oleh Limbah Industri Adalah Masalah Itikad. Universitas Sumatera Utara,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar